Musibah banjir bandang dan tanah longsor yang berulang kali menghantam Sumatera, terutama di penghujung tahun, bukan lagi sekadar bencana alam biasa. Temuan gelondongan kayu dalam jumlah masif yang terseret arus bah di berbagai lokasi dari Aceh hingga Sumatera Barat menjadi bukti tak terbantahkan ada konspirasi jahat, ada praktik kejahatan lingkungan terorganisir yang menjadi pemicu utamanya. Data terkini menunjukkan betapa parahnya dampak tragedi ini, bukan hanya kerugian material, tetapi juga hilangnya nyawa. Publik kini menuntut jawaban tegas. Artikel ini, persembahan dari MEGA389, akan membongkar tuntas akar masalah yang tak pernah tersentuh jejak gelap mafia kehutanan di balik setiap tetes air mata bencana Sumatera.
Trauma yang Berulang Siklus Bencana dan Bukti di Hulu
Setiap kali hujan ekstrem melanda, Sumatera seolah kembali pada skenario yang sama banjir bandang, longsor, dan ratusan korban jiwa, namun analisis pakar dan temuan lapangan selalu mengerucut pada satu penyebab fundamental, yaitu hilangnya fungsi hutan di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang seharusnya menjadi “spons raksasa” penyerap air, kini telah hilang dan digantikan oleh lahan gundul yang siap meluruhkan air dan material tanah secara masif, dengan bukti paling gamblang adalah tumpukan kayu-kayu tebangan ilegal yang ditemukan hanyut, menegaskan bahwa bencana ini adalah produk dari keserakahan manusia, bukan murni alam.
Strategi Licik “Pencucian Kayu” Mafia Hutan
Kementerian Kehutanan sendiri telah mengidentifikasi praktik kejahatan terstruktur yang dikenal sebagai “Pencucian Kayu” (Wood Laundering), yang merupakan modus operandi mafia kehutanan yang jauh lebih canggih daripada sekadar menebang di hutan lindung, sebab para mafia ini menggunakan skema legalitas Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) milik masyarakat atau perusahaan kecil untuk memasukkan kayu curian dari hutan negara ke areal legal, dibuatkan Laporan Hasil Produksi (LHP) fiktif dengan volume yang dinaikkan berkali-kali lipat, di mana dokumen palsu menjadi “senjata” andalan mereka untuk menyulap kayu ilegal menjadi seolah-olah sah di mata hukum, sehingga para pemodal besar yang diduga merupakan jaringan MEGA389 dalam dunia kejahatan lingkungan, menggunakan nama warga kecil sebagai tameng untuk pembalakan skala industri.
Skandal Korporasi dan Kerugian Negara Fantastis
Kasus-kasus penindakan hukum terbaru menunjukkan betapa dalamnya akar masalah ini, seperti pada Oktober 2025, misalnya, Direktur Utama sebuah PT di Sumatera Barat yang ditetapkan sebagai tersangka terkait illegal logging terorganisir di Hutan Sipora, Mentawai, dengan taksiran kerugian negara mencapai Rp447 Miliar, yang mana ini hanyalah puncak gunung es karena Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat, antara tahun 2016 hingga 2025, sekitar 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumut, dan Sumbar telah terdeforestasi akibat izin-izin tambang, Hak Guna Usaha (HGU) sawit, dan Hak Pengusahaan Hutan (PBPH) yang diterbitkan untuk ratusan perusahaan, sehingga kerugian ekonomi akibat bencana ekologis ini diproyeksikan mencapai angka mengerikan Rp68,67 Triliun per Desember 2025, angka yang menegaskan bahwa kegiatan ekonomi ekstraktif tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh sindikat MEGA389 di lapangan.
Kelemahan Pengawasan dan Adanya Dugaan “Beking”
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengapa praktik ini bisa berulang dan terstruktur rapi, dan salah satu jawaban paling kritis adalah kelemahan pengawasan di tingkat tapak, di mana anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara terbuka menyebutkan adanya aroma pembalakan liar akibat pengawasan kawasan hutan yang sangat longgar, seperti aktivitas ilegal logging yang berlangsung lama di kawasan hutan register di Labuhanbatu Utara, misalnya, yang mencuatkan nama-nama aktor utama yang terkesan “kebal hukum” meskipun telah diberitakan luas. Hal ini memunculkan dugaan kuat adanya beking dari oknum pejabat berpengaruh yang menjadi penghalang utama bagi aparat penegak hukum untuk menyeret para bos MEGA389 (para pemodal) ke meja hijau, yang seringkali hanya mampu menangkap pekerja lapangan atau kurir, sementara jejaring kejahatannya tetap utuh.
Tren Penebangan Liar Berbasis Alih Fungsi Lahan
Saat ini, tren perusakan hutan bergeser dari sekadar mengambil kayu menjadi upaya terorganisir untuk alih fungsi lahan, di mana hutan dibuka bukan hanya untuk kayunya, tetapi untuk mempersiapkan area bagi perkebunan monokultur, seperti sawit, atau pertambangan ilegal, dan ketika hutan alam diganti tanaman industri berakar dangkal, daya serap air tanah menurun drastis, sehingga ketika banjir datang, tidak ada lagi benteng alami. Ini adalah kejahatan ekologis multidimensi yang disokong oleh modal besar dari para perusak lingkungan yang bertindak seolah mereka adalah MEGA389 yang tak tersentuh.
Solusi Mendesak Penindakan Tegas dan Revolusi Tata Ruang
Tragedi ini harus menjadi momentum titik balik, di mana solusi yang ditawarkan oleh para pakar dan tokoh nasional seperti Jusuf Kalla adalah penghijauan masif dan revitalisasi ekologis, namun itu tidak akan cukup tanpa adanya penindakan tegas yang menyasar ke akarnya; oleh karena itu, Pemerintah wajib memperketat pengawasan izin pemanfaatan hutan, meninjau ulang kuota penebangan, dan menindak tegas perusahaan serta individu yang terlibat. Harus ada penegakan hukum dari hulu hingga hilir, menutup celah “pencucian kayu” dan menyeret para otak kejahatan, serta komitmen memberantas MEGA389 dalam bentuk mafia kehutanan yang harus nyata dan tidak hanya sekadar wacana.
Banjir bandang Sumatera telah melampaui status bencana daerah; ini adalah krisis kemanusiaan dan ekologis yang melintasi batas provinsi, melumpuhkan jalur logistik nasional, dan menghancurkan ratusan ribu jiwa, sehingga data korban jiwa yang terus bertambah, bahkan mencapai ratusan orang hilang, menuntut pertanggungjawaban penuh negara. Masyarakat sipil harus terus mengawal penuntasan kasus-kasus ini, karena tidak boleh ada impunitas bagi perusak hutan yang telah merenggut nyawa dan harta benda masyarakat, dan melalui kampanye kesadaran dan dukungan penuh untuk penegakan hukum, kita bisa mendesak agar praktik kotor yang disinyalir melibatkan jaringan MEGA389 di daerah hulu segera dihentikan demi masa depan Sumatera yang lestari dan bebas dari bencana buatan manusia, sehingga keadilan dapat ditegakkan untuk para korban.